id="fb-root"> expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Translate

Laman

Kamis, 14 Maret 2024

“Perbaikilah Gereja-Ku”: Bukan Sekadar Renovasi!


    Suatu ketika, di Gereja San Damiano, Santo Fransiskus dari Assisi mendengar suara dari Salib "perbaikilah Gereja-Ku!". Fransiskus spontan melakukan aksi “penggalangan dana” untuk merenovasi Gereja itu, caranya: menjual kain bapaknya!

    Ternyata oh ternyata yang dimaksud Yesus bukan perbaikan semacam itu. Maksud-Nya adalah memperbaiki diri dan Gereja yang saat itu sedang dalam krisis moral dan spiritual, ketika para pengikut Kristus termasuk para klerus dan petinggi Gereja tidak hidup sebagaimana mereka seharusnya. Sepertinya panggilan serupa juga bergema bagi kita di zaman ini.

    Tahun-tahun belakangan ini di Surabaya ada banyak gereja direnovasi. Ada yang dicat ulang, diperbarui bangunannya, dipasang pendingin ruangan, dan lain sebagainya. Di luar pendapat pribadiku atas hasil renovasinya yang sejujurnya tidak semuanya memuaskan secara estetika, rasa-rasanya selain renovasi bangunan gereja secara fisik perlu ada perombakan dan renovasi secara lebih mendalam: mental dan spiritual dalam Gereja.

    Bertahun-tahun, misalnya, aku rutin hadir dalam acara tahbisan imamat di salah satu paroki di Surabaya. Meskipun seringkali tidak mengenal satu orang pun dari mereka yang akan ditahbiskan, bagiku yang merasa sebagai bagian dari satu keluarga besar Gereja Katolik menghadiri misa tahbisan selalu membawa sukacita tersendiri.

    Tahun lalu, di paroki yang sama yang baru saja direnovasi, ternyata ada perbuahan juga dalam budaya hidup menggereja di sana. Bertahun-tahun aku yang "bukan siapa-siapa" ini selalu mendapat tempat di dalam Gereja bagi mereka yang juga "bukan siapa-siapa"; maksudnya mereka yang bukan keluarga atau kenalan calon tertahbis, dan juga bukan kaum berjubah. Di misa tahbisan kali ini, setelah pandemi sekian tahun, aku memutuskan untuk kembali menghadirinya. Seperti biasa, karena aku hadir cukup awal gereja sedang kosong, hanya diisi beberapa panitia yang sedang mempersiapkan misa tahbisan sore itu. Kali ini aku mengamati ada perbedaan : seluruh bangku di dalam gereja sudah tertandai "keluarga romo a, romo b, romo c". Aku segera menuju ke bangku paling belakang yang nampaknya satu-satunya baris yang tidak tertandai dan ternyata tak lebih dari 5 menit seseorang mengabariku bahwa seluruh gereja sudah dikhususkan bagi para undangan. Detik itu aku segera menyadari ada yang berubah dari paroki ini.

    Aku samasekali tidak mengharapkan duduk di dalam gereja, apalagi mendapat tempat spesial. Yang aku lihat sebagai masalah adalah kini tidak ada lagi tempat di dalam gereja bagi orang yang "bukan siapa-siapa".

    Entah apa yang ada di pikiran panitia tahun itu, apa pertimbangannya sehingga diputuskan gereja seluas itu seluruhnya direservasi khusus para kerabat dan mereka yang diundang. Bertahun-tahun aku hadir misa tahbisan dengan jumlah calon tertahbis yang beragam, pernah lebih banyak atau lebih sedikit dengan tahun itu dan selalu ada tempat. Tiba-tiba tahun itu tempat di dalam tidak cukup bagi para imam sekeuskupan dan para undangan. Entah semua calon tertahbis tahun itu punya keluarga super besar atau memang ada pergeseran sikap dari “si penyelenggara". Gestur sederhana ini sejenak membuatku ingin membuang jauh-jauh pemahaman "kita adalah satu keluarga besar Gereja Katolik !" persetan !

    Tidak berhenti di situ, setiap tahun memang ada kebiasaan syukuran dan makan bersama sesudah misa dan memang selalu ada tempat khusus para imam baru dan keluarganya serta tempat bagi yang lain tetapi semua umat mendapat kesempatan menyalami, meminta berkat, atau sesederhana memberi selamat kepada para gembala baru mereka. Tahun ini, belum usai perarakan keluar sang panitia yang terhormat mengumumkan agar para umat yang bukan undangan bersabar dan tidak memasuki gereja, menunggu "saatnya tiba" untuk mendekat dan mengucapkan selamat pada para imam baru yang ternyata langsung masuk ke ruang pesta. Di jalan yang memisahkan antara luar gereja tempat kaum jelata yang "bukan siapa-siapa" berada dan pelataran menuju tempat perkumpulan mereka yang diundang terdapat pagar betis dari para petugas, seakan kami pendemo yang perlu ditertibkan tak diizinkan menyentuh para "pejabat" Satu-satunya hal yang menghibur adalah beberapa imam yang memilih keluar dari tempat eksklusif itu dan bergabung dengan "rakyat jelata".

    Baru saja sebelum mengakhiri misa Bapa Uskup memberikan pesan untuk tidak menghalang-halangi panggilan khususnya bagi anak muda, tidak sadarkah mereka bahwa yang mereka lakukan ini sangat menghalangi panggilan? "Boro-boro terpanggil, ketemu sosoknya aja susah banget!"

    Aku dan beberapa kawan, setelah cukup lama sabar menunggu saatnya tiba bagi kami untuk berjumpa dengan para gembala baru kami, tak kunjung diperbolehkan masuk. Tak ingin membuang waktu lebih lama, kami memutar arah memasuki daerah itu lewat sisi timur gereja dan aku telah berencana : "seandainya lewat sana pun kami dihalangi, aku pulang saja!" orang Surabaya mengekspresikannya dengan istilah "gak pateken!" bertemu dengan mereka atau tidak, aku akan tetap mendoakan mereka anyway meskipun mungkin akan pikir-pikir lagi untuk hadir di misa tahbisan. Syukur kepada Allah jalan lewat pintu timur tidak dihalangi para "satpol pp" alias para panitia dan kami berhasil menyusup ke tempat para imam baru berada memberi selamat dan meminta berkat.

    Yang ironis dari peristiwa hari itu adalah selagi di dalam ruang pesta mereka yang diundang bergembira, di luar mungkin tak sedikit mereka yang menunggu sangat lama untuk sekadar bisa bertemu para imam baru atau bahkan kesempatan itu tidak datang samasekali. Bahkan apakah para imam baru menyadari hal ini dan menginginkan hal ini pun aku cukup meragukannya. Bagaimana umat bisa melihat sosok Yesus yang dekat dan menerima semua orang bila untuk bertemu imam saja susahnya bukan main? Bagaimana slogan "Gereja terbuka bagi semua orang" bisa memiliki makna kalau dalam praktiknya ada pemisah antara yang "bukan siapa-siapa" dan yang "berkuasa"?

    Kisah ini hanya secuil dari sejuta uneg-unegku dan mungkin umat lain terkait sikap oknum anggota Gereja baik klerus maupun awamnya yang kadang membuat bertanya-tanya "kok isaa?!" (kok bisa?). Sepertinya selain perbaikan masif gedung gereja, Gereja juga perlu berbenah mengadakan perbaikan yang jauh lebih masif dalam hidup beriman dan menggereja. Bagaimana iman dihidupi dan diajarkan dengan lebih baik, bagaimana Allah disembah dan dihormati dengan lebih layak dalam liturgi, bagaimana sakramen dilayani dan diterima dengan lebih giat dan penuh persiapan, bagaimana hidup di dunia tanpa menjadi sama dengan dunia; singkatnya menjalankan panggilan awal dan utamanya: Mewartakan Injil dan kedatangan Kerajaan Allah, menjadi kudus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...