id="fb-root"> expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Translate

Laman

Kamis, 14 April 2022

Hai Gereja Buka Pintumu!


"Marilah kepada-Ku kamu semua yang letih, lesu, dan berbeban berat..."

*khusus mereka yang telah divaksin lengkap, tidak berusia di atas 60 tahun, 

dan sudah mendaftarkan diri.... 


     Kali ini, izinkanlah aku sedikit berkeluh kesah dan memberikan kritik terkait beberapa kebijakan yang menurutku "tidak terlalu bijak", salah satu yang utama: penutupan Gereja di masa pandemi. Bukan maksudku tidak mengacuhkan pandemi yang sedang terjadi, meremehkannya, apalagi tidak bersimpati dengan para korban, aku hanya berpendapat bahwa pilihan untuk menutup Gereja hingga membatasi umat untuk merayakan Misa bukanlah pilihan terbaik yang bebas masalah, apalagi opsi yang pantas untuk dipertahankan.


Bukan Pilihan yang Mudah!

     Pandemi memang memberikan tantangan dan pilihan yang sulit bagi para pemimpin, dalam hal ini secara khusus pemimpin Gereja. Aku sangat menyadari betapa beratnya dilema para pejabat Gereja saat harus menanggapi situasi ini, bagaimana kebutuhan rohani umat secara khusus yang paling utama: Ekaristi dan sakaramen lain dapat diakses, di saat sama bagaimana melindungi mereka dari pandemi. Hingga pada akhirnya keputusan yang diambil adalah mengikuti anjuran pemerintah untuk menutup pintu Gereja dan selama beberapa waktu membiarkan bangku umat kosong, digantikan seperangkat kamera untuk menyiarkan Misa live streaming.

     Umat dihimbau untuk tetap di kediaman masing-masing dan mengikuti, atau tepatnya "menonton" Misa dari sana. Mereka yang beruntung, misalnya yang menjadi petugas liturgi atau anggota komunitas tertentu masih dapat mengikuti Misa secara langsung, sedangkan yang lain harus dengan lapang dada menaati peraturan. Di sinilah kita dipanggil untuk merenungkan kembali "Allah beserta kita" meski Ekaristi dan beberapa sakramen tak lagi dapat dengan mudah diakses, bahkan perayaan besar Tri Hari Suci harus dirayakan tak hanya dengan sederhana, tetapi bagi beberapa umat dengan sangat sederhana. 

     Suatu kebenaran terus digaungkan baik oleh para gembala, maupun anggota Gereja lainnya, bahwa Allah, mahakuasa dan maha hadir, rahmat-Nya mengatasi batasan-batasan ruang dan kelemahan kita. Dengan demikian, kita dipanggil untuk bersabar dalam kesesakan dan terus berdoa sambil berharap kepada Tuhan di tengah masa sulit ini. Meski begitu, perjumpaan nyata dan menerima Tubuh Kristus secara fisik dan nyata dalam Perayaan Ekaristi tetap tak dapat tergantikan. Bukankah itu yang sellau diajarkan kepada kita di pelajaran Agama Katolik (itupun kalau diajarkan) bahwa Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani seperti yang tertulis dalam Lumen Gentium (LG) artikel 11 dan dijelaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1324 - 1326.

     Suatu pertanyaan kemudian muncul, bila Ekaristi adalah sumber dan puncak seluruh kehidupan Kristiani, apakah menutup Gereja dan membatasi akses umat pada sumber dan puncak hidupnya adalah pilihan satu-satunya yang paling baik? 


Bukan Satu-Satunya Pilihan!

     Menutup Gereja dan membatasi bahkan meniadakan pelayanan sakramen menurutku bukanlah satu-satunya pilihan. Di beberapa tempat ada yang memilih jalan memperbanyak jadwal Misa untuk mencegah kerumunan, di tempat lain dengan Misa bahkan sakramen lain seperti sakramen tobat di luar ruangan, ada pula yang memilih untuk merayakan misa di kelompok - kelompok. Cara-cara tersebut dipilih sebagai alternatif dari menutup rapat-rapat pintu Gereja dan menjauhkan umat dari akses pada sakramen.

     

Penutupan Jalan

     Jalan kepada Sang Penyelamat kini tertutup, akses ke sumber air kini dipalang dengan alasan "menjaga kesehatan". Ironisnya hal ini berjalan lebih lama dari semestinya, bahkan ketika pandemi sempat mereda, ketika beberapa aktivitas mulai dapat dilakukan, beberapa Gereja masih begitu lambat membuka pintunya, bila tidak memberikan sejuta persyaratan untuk dapat datang kepada Dia yang memanggil kita.

     Persyaratan itu tidak lagi kulihat sebagai bentuk "menjaga kesehatan" saja tapi lebih kepada ketakutan yang tidak beralasan. Misalnya saja aturan untuk menunjukkan hasil negatif antigen sebelum masuk ke sebuah tempat ziarah yang di alam terbuka, atau peraturan wajib vaksin untuk bisa Misa, hingga batasan usia. Masalahnya, tanpa aturan di masa normal saja kebanyakan orang memilih pergi ke mall atau tempat lain daripada ke Gereja, apalagi bila untuk ke Gereja dibebani banyak prasyarat yang jauh lebih rumit dari masuk ke pusat perbelanjaan. Belum lagi mereka harus menghadapi "anak-anak sulung" yang menghakimi mereka karena lebih memilih ke Mall daripada ke Gereja tanpa memahami sudut pandang mereka yang kesulitan memenuhi berbagai syarat untuk masuk Gereja. (Beda cerita bila persyaratannya sudah mudah tetapi orang tersebut tetap memilih untuk tidak ke Gereja).

    Tentang batasan usia misalnya, ironisnya mereka yang dilarang hadir secara langsung di banyak tempat: lansia, justru mereka yang paling rajin dan paling membutuhkan Misa langsung, setidaknya anak muda masih bisa dengan mudah mengakses suatu aplikasi yang namanya "Yutub" dan menonton misa online di sana. 

     Hal lain tentang peraturan pembatasan Misa hanya untuk mereka yang sudah terdaftar sebagai anggota paroki atau mereka yang sudah mendaftar. Gereja Katolik yang digadang-gadang sebagai Gereja Universal yang menerima dan mengajar semua seperti yang tertulis dari namanya, di masa pandemi mendadak menjadi begitu lokal: "hanya menerima warga paroki yang sudah mendaftar!" Bahkan "hanya menerima warga lingkungan a atau b!" Di manakah Gereja yang seharusnya terbuka pada semua bangsa, yang memanggil semua orang pada Kristus? Bagaimana dengan mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk seaktif yang lain dalam hidup menggereja, yang kesulitan mendapat akses, yang merantau, dan lain sebagainya? Bagaimana dengan semboyan Gereja, "Keselamatan jiwa-jiwa adalah hukum yang paling utama"? Tentang ini mungkin perlu didiskusikan, apakah sungguh kita memahami apa artinya ini sebagai hukum yang paling utama.

     Gereja seperti mengulangi sejarah, ketika para murid berkumpul dalam suatu tempat dalam pintu yang terkunci karena ketakutan. Tetapi meski demikian, bukankah justru di pintu terkunci itu Yesus hadir di tengah-tengah mereka, menghembusi mereka dengan Roh Kudus dan mengutus mereka? Sekali lagi: Allah beserta kita! Semoga kita tidak lagi takut, dan dengan bimbingan Roh Kudus, pergi membawa Yesus kepada orang-orang dan membawa orang-orang kepada Yesus.


Ironi di Negeri Religi

     Ketika membahas keputusan Gereja untuk menutup pintunya, hendaknya kita menyadari salah satu aspek yang mendorong keputusan ini adalah peraturan pemerintah. Selama pandemi dan peraturan pembatasan sosial dengan berbagai istilahnya itu, negara memberikan aturan yang cukup ketat untuk peribadatan (meskipun dalam beberapa kasus, penegakkan peraturan ini di kaum yang satu dan kaum yang lain tidak dapat dikatakan adil *tentang ini aku tidak akan membahasnya lebih jauh). Mereka yang melanggar terancam digrebeg dan "ditertibkan" hingga dibubarkan "kerumunannya". Ironisnya, hal-hal ini terjadi di negara yang katanya menghidupi nilai "ketuhanan" di sila pertama ideologinya.

     Bila negeri tercinta ini adalah negara sekuler atau negara yang memiliki ideologi lain, maka tidak perlu terkejut atau dikritisi lagi. Masalahnya, negara ini dengan jelas mengatakan berideologi Pancasila dan termasuk di dalamnya, bahkan yang pertama, yang paling mendasar: Ketuhanan. Lantas, bagaimana hal ini dihidupi ketika untuk beribadah negara memberikan peraturan dan penegakkan peraturan yang jauh lebih ketat daripada untuk berkegiatan ekonomi? 

     Apakah aku mengatakan ekonomi tidak penting? Tentu tidak! tetapi apakah hidup beragama kalah penting dengan ekonomi? Banyak yang menerima begitu saja : hidup beragama dapat dilakukan di mana saja, tak harus berkumpul di tempat ibadah, tanpa menyadari betapa liciknya paham ini. Bila demikian, mengapa kita memerlukan tempat ibadah in the first place? Lihatlah betapa negara yang katanya menganut nilai ketuhanan ternyata tak jauh berbeda dengan negara-negara lain. Betapa di negeri religi ini hidup beragama ternyata masih harus berhadapan dengan tekanan pemerintah dan betapa nilai ini tak lebih dari sekadar slogan yang digaungkan di kelas-kelas.

    

Penutup

     Sudah saatnya Gereja membuka pintunya. Demikian pula sudah saatnya umat memasuki pintu Gereja. Syukur kepada Allah kini sudah banyak gereja  yang sudah membuka pintunya, membuka portal jalan kepada Sang Sumber Hidup. Sementara di tempat lain yang masih terpenjara dengan berbagai aturan yang tak lagi relevan, "bukalah pintumu!". Semoga kita disadarkan betapa berharganya sakramen, secara khusus perayaan Ekaristi, dan diajak untuk merayakannya dengan lebih pantas dan layak. Pada akhirnya semoga Allah menyertai dan membimbing kita, membebaskan kita dari ketakutan, dan memberi kita rahmat untuk membawa Dia kepada orang-orang dan membawa orang-orang kepada Dia. Amin.




Vive Jésus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...