id="fb-root"> expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Translate

Laman

Jumat, 27 Agustus 2021

Paid Promote dan Twibbon: Penjajahan Gaya Baru

 

     Belakangan ini ada dua fenomena di media sosial yang menggelitik akal budiku, yaitu: paid promote dan twibbon. Banyak akun, khususnya setelah pemiliknya masuk di bangku kuliah, isinya mulai berubah dari foto-foto estetik dan caption "bijak" digantikan twibbon kampus, kegiatan, hingga hari-hari besar, bahkan ada yang akunnya sudah tak jauh beda dengan toko online yang mempromosikan dagangan makanan, jual followers, hingga hal-hal koplak seperti foto aib untuk merayakan ulang tahun kawan, ramal kartu tarot, dan obat kuat. Maka, hari ini aku ingin meluapkan sedikit pemikiranku untuk menanggapi fenomena ini.

     Sebelumnya, twibbon sebenarnya bukan hal baru. Biasanya beberapa kegiatan menyediakan twibbon bagi para peserta yang ingin "memamerkan" keterlibatan mereka sekaligus mempromosikan kegiatan itu, tapi ini dilakukan dengan kebebasan peserta, bukan kewajiban apalagi paksaan panitia.

     Tentang promosi berbayar, ini juga bukan hal baru. Beberapa orang menyediakan jasa iklan di media sosial mereka dengan biaya tertentu, tapi sekali lagi, setahuku ini adalah keinginan bebas orang yang bersangkutan.

     Sekarang, mengupload twibbon menjadi salah satu kewajiban khususnya bagi mahasiswa baru, juga bagi mereka yang mengikuti kegiatan-kegiatan tertentu (biasanya kegiatan kemahasiswaan). Aku pribadi pernah sekali mengikuti kegiatan yang ternyata mewajibkan aku untuk upload twibbon, dan sebenarnya aku tidak ada masalah sampai ketika panitia "menerorku" malam-malam hanya karena belum sempat upload twibbon di akunku dan men-tag dia. Kejadian itu membuatku mulai berpikir, apa gunanya twibbon ini? Apakah bila salah satu peserta tidak mengunggah twibbon acara langsung bubar? Apakah wajib semua orang (setidaknya para pengikut di media sosial) mengetahui aku ikut kegiatan apa?

     Aku memandang bahwa kewajiban twibbon ini termasuk salah satu "pelanggaran" terhadap privasi dan kebebasan orang. Bukankah akun media sosial pribadi adalah hak orang itu? Pantaskah bila seseorang dipaksa untuk mengunggah sesuatu di akun pribadinya? Yah, kecuali ia dengan bebas melakukannya, orang tersebut tetap punya hak atas konten apa yang mau dia post, hingga memutuskan apakah akunnya dibuat privat atau tidak, bahkan seseorang punya hak untuk tidak membuat akun media sosial di tengah zaman "monarki media" ini. Semua hak itu seakan hilang, ketika seseorang diwajibkan mengupload twibbon, baik sebagai syarat masuk kuliah, kepanitiaan, atau kegiatan lainnya. 

     Aku jadi ingat ketika di sekolah ada seminar tentang pentingnya bijak bermedia sosial. Sang pembawa seminar mengajarkan bahwa kita harus berhati-hati dalam bermedia, misalnya jangan membagikan data pribadi, atau lokasi, dan sebagainya yang mana dapat disalahgunakan. Sekarang, sepertinya tips itu tidak lagi berlaku. Sekarang semua siswa diwajibkan menjadi budak media, diwajibkan selalu update di media sambil mempromosikan universitas dan kegiatan.

     Masalah kedua tak kalah busuk, yaitu Paid Promote. Akun-akun kawanku yang dulunya penuh ekspresi diri atau karya sekarang berubah menjadi baliho iklan. Bahkan aku menemui beberapa konten iklan yang tidak pantas yang mau tidak mau harus diunggah meski bertentangan dengan idealisme pemilik akun. Foto aib dalam rangka ulang tahun misalnya, atau jasa membaca kartu tarot, tapi tentu semua itu "sah" sebab orang tersebut sudah membayar. 

     Pertanyaannya adalah, haruskah paid promote? Tidak adakah cara lain atau opsi lain dalam mencari dana, atau bagi mereka yang karena prinsip tidak bisa melakukannya? 

     Dari cerita beberapa temanku, sebagian besar mereka menjawab bahwa ini menjadi salah satu kewajiban (aku tentu tidak tahu apakah ada opsi lain atau tidak, tapi aku berasumsi jawabannya adalah yang kedua). Haruskah paid promote menjadi salah satu kewajiban dalam menjadi panitia? Tidak adakah kewajiban lain yang lebih pantas dan berguna?

      Aku melihat kedua fenomena ini tak jauh beda dengan kewajiban tanam paksa di zaman penjajahan dulu. Bedanya hanya dari materi, metode, dan zamannya saja. Pemaksaan dan perampasan hak miliknya kurang lebih sama. Seseorang dipaksa untuk "menjual diri" dengan merelakan akunnya diambil alih kepanitiaan. Haruskah twibbon dan paid promote jadi halangan mengembangkan diri dan aktif di universitas? Haruskan manusia menukarkan akun, kebebasan, prinsip, dan privasinya demi aktif di media sosial?

     Maka, para panitia yang terkasih, aku sarankan untuk mencari hal lain yang lebih bijak dan berguna untuk dijadikan kewajiban bagi peserta didik baru. Setidaknya pikirkanlah apa dampak-dampak dari kebijakan kalian, aku rasa di zaman ini akal budi kita sudah mampu memahami dan mempertimbangkan banyak hal. Aku pun terbuka, seandainya ada pembaca yang termasuk pembuat kebijakan ini dan ingin membela diri dan sebisa mungkin menyediakan waktu untuk semakin memahami hal ini dengan lebih utuh. Aku rasa sekian, sampai jumpa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...