id="fb-root"> expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Translate

Laman

Selasa, 28 September 2021

Absurditas Penderitaan

 

     Hari-hari belakangan ini pikiranku sedang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan tentang penderitaan. Mengapakah harus menderita? Apakah maknanya? Dapatkah kita melepaskan diri darinya atau mungkin haruskah? Maka, aku ingin menumpahkan semua itu dalam tulisan ini sambil berusaha untuk terus mencari sekaligus berbagi penderitaan dengan kalian.

     Mengapakah manusia, kita, aku harus menderita? Dengan menderita aku berusaha mengingat kembali masa kecilku sejauh dapat diingat dan menemukan bahwa bahkan di masa kanak-kanakku aku sudah menderita. Mulai dari penderitaan ketika dimarahi dan dipukul mama, rasa sakit karena terjatuh dari lemari, dan rasa tidak nyaman menghabiskan waktu di taman kanak-kanak yang membosankan. Penderitaan juga mengikutiku sepanjang hidup, hingga saat tulisan ini ditulis. Mengamati sesamaku pun, aku dapat menyimpulkan bahwa nasib mereka tak lebih baik dariku sebab penderitaan juga menemani hidup mereka tanpa pandang bulu. Ini membuatku bertanya, "mengapakah harus menderita?"

     Dengan menderita pula, aku berusaha mencari jawabannya dalam perjalanan, dalam lamunan, hingga di tengah malam seakan aku tak diperbolehkan beristirahat. Mengapa penderitaan seperti bayangan yang terus mengikuti manusia? Dari awal kehidupannya manusia mendatangkan penderitaan bagi ibu yang mengandung, melahirkan, dan merawatnya. Di dalam dirinya sendiri pun ia harus menderita dalam ketidaktahuan dan ketidakberdayaan masa kanak-kanaknya. Ketika ia sudah mampu berpikir dan bebas pun ia tak bebas dari penderitaan, sebab pikiran dan kebebasannya itu sendiri menjadi sumber penderitaan, pencarian tanpa akhir, perjuangan mengontrol diri, hingga perjuangan untuk terus hidup. Di akhir hidupnya pun, manusia yang tak memilih untuk hidup, juga harus berhadapan dengan kematian yang juga tak dipilihnya, kematian itu yang menggugah kesadaran manusia akan keberadaannya, menyiksa dengan realitanya, kini secara nyata merenggut kemampuan manusia untuk menderita dan di saat yang sama, membawa duka lara bagi sanak saudara, manusia lainnya. Semua ini hampir membuatku menyimpulkan bahwa hidup dan penderitaan adalah persamaan kata.

     Bagaimanakah dengan sukacita yang nyaris sama nyatanya dengan penderitaan? Ah, bahkan gelak tawaku tak mampu menghapus penderitaan dalam diriku barang satu menit, gelak tawa itu pula membawa rasa pegal di pipiku, sesak di dadaku, dan akhirnya meninggalkanku seusai yang menjadi sumber tawa dan gembira tak lagi menjadi sumber tawaku. 

     Belum juga aku berhasil menemukan jawaban mengapa manusia harus menderita, akal budiku yang liar memaksaku untuk mencari maknanya. Berapakah buku dan tulisan yang harus kubaca? Berapakah cerita yang harus kudengar? Berapa ribu pengalamankah yang harus kualami? Dapatkah otak yang bahkan tak mampu memahami dengan baik konsep matematika ini memahami makna suatu misteri yang begitu mendalam?

     Setidaknya bila ada satu hal yang bisa sedikit menghiburku, itu adalah kenyataan bahwa aku tak sendiri. Jutaan manusia dari masa ke masa berhasil menemukan banyak hal, tapi tentang makna hidup dan penderitaannya mereka tak mampu. Pun, tak ada yang berhasil menghilangkan penderitaan dengan segala kemajuan dan penemuan cemerlangnya, setiap solusi menciptakan masalah baru, setiap penghiburan menghasilkan penderitaan baru. 

     Dalam pencarian makna penderitaan yang penuh penderitaan ini, manusia-manusia menderita lain menyarankanku untuk pergi ke Yang Maha Kuasa. Tetapi, sepertinya Yang Maha Kuasa tidak berusaha membuatnya sederhana, bahkan semakin menyempurnakan absurditasnya. Mengapakah Dia menciptakan kita yang setiap detiknya cenderung berdosa dan mengkhianatiNya? Mengapa pula Ia menjadi manusia yang setiap detik hidupnya dipenuhi penderitaan, dan lebih dari itu memilih jalan penderitaan sebagai cara untuk menyelamatkan manusia yang Ia ciptakan. Bahkan Allah pun, dalam arti tertentu, menderita!

     Menyadari realita penderitaan sebagai sesuatu yang tak lepas dari hidup manusia, haruskah ia dengan menderita berjuang mencari cara untuk lepas dari penderitaan? Atau mungkin, pertanyaannya adalah bisakah ia lepas dari penderitaan? Dengan menderita, manusia menegasikan penderitaan, mencari segala cara untuk lari darinya dan berusaha mengatasinya, padahal itu pun menjadi sumber penderitaan baginya. Mengapa kita harus melepaskan diri darinya, alih-alih memeluknya dengan erat seperti sobat karib dan mencintainya yang tak pernah akan meninggalkan kita? Bukankah tanpa penderitaan hidup kita menjadi lebih absurd dan kehilangan "hidupnya"?

     Beberapa berpendapat bahwa penderitaan akan berakhir bahagia, atau penderitaan adalah sumber kebahagiaan, namun apakah itu kebahagiaan? Apakah ia ada? Apakah kebahagiaan adalah keadaan tanpa penderitaan? Haruskah kebahagiaan didahului penderitaan? Tak dapatkah ia memiliki nilai dan makna pada dirinya sendiri? Atau seandainya ada orang yang tak menderita, haruskah ia mencari penderitaan agar bisa bahagia? Atau orang menderitalah yang bahagia? "Berbahagialah orang yang menderita!"?

     Ah, seakan tak cukup penderitaan di dunia nyata, aku membawanya dalam dunia maya pula. Mengakhiri sebuah tulisan tanpa jawaban pun, bukankah membawa penderitaan? Indahnya berbagi penderitaan dengan pembaca, menjerumuskan manusia pada jurang realita yang dipenuhi absurditas penderitaan.


"Berbahagialah orang yang menderita,

karena mereka akan terus menderita."


Yang Menderita,


SDCV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...