id="fb-root"> expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Translate

Laman

Jumat, 27 September 2019

"Dipenjara Aturan"


     "Aturan ada untuk dilanggar" entah darimana semboyan ini berasal yang jelas hal itu sangat menggangguku. Setidaknya akibat dari perbedaan pandangan ini ratusan diskusi dan "debat" tercipta baik dengan teman, keluarga, hingga beberapa guru di sekolah. Alasannya sederhana, bagiku aturan ada agar tidak terjadi kekacauan, maka sudah layak dan sepantasnyalah kita menaatinya. Namun itu semua ditentang atas dasar kebebasan katanya. Bagiku justru aturan dibuat untuk melindungi kebebasan manusia yang kadang terlalu liar. Aturan ada agar kebebasan manusia, hak mereka, tidak merampas hak dan kebebasan orang lain. Tentu saja di dunia ini tak ada kebebasan yang total, nyatanya sejak awal hidup manusia tak ada kebebasan kapan, dimana, dan oleh siapa kita dilahirkan. Matipun bila tidak bunuh diri kita tak bebas menentukan kapan maut menjemput, bunuh diripun terkadang bukan jaminan nyawa bisa melayang, ditambah lagi berbagai hal yang tak ada hubungannya dengan kebebasan manusia, bencana alam misalnya. Intinya memperjuangkan kebebasan bukan berarti alasan untuk melanggar aturan.
     "Jangan jadi budak aturan, jangan dipenjara aturan" setidaknya itulah kalimat yang sering diucapkan orang ketika berdiskusi denganku tentang hal ini. Tentu saja tidak, aku tidak mau dibodohi oleh aturan, itulah gunanya belajar, bagaimana melihat aturan bukan hanya sebagai aturan untuk ditaati tetapi melihat apa yang menjadi tujuan dari aturan tersebut. Menjalankan aturan dengan mengerti tujuannya bagiku adalah caraku untuk tidak menjadi budak aturan yang sekedar ikut dengan bodohnya. Misalnya saja ada aturan dilarang mencontek saat ujian, selain untuk menegakkan keadilan, bila dilihat lebih dalam aturan tersebut dibuat untuk pengembangan potensi dan penghormatan terhadap martabat manusia. Terlalu berlebihan? Bayangkan jika seluruh siswa diperbolehkan mencontek dengan sebebas-bebasnya, maka pendidikan di sekolah tak lebih dari sekedar ajang mencari nilai. Lantas untuk apa sekolah bila nilai dan ijazah kini mampu dibeli? Bila seluruh siswa tak mau berusaha dengan kekuatannya sendiri menyelesaikan ujian, maka dapatkah pribadi tersebut berkembang atau paling tidak belajar untuk hidup yang terkadang untuk menyelesaikan masalah hidup tak ada contekan atau bantuannya. Akupun pernah mengalami pengalaman unik nan tak terlupakan ketika 39 dari 40 siswa mendapat nilai 100 dan 1 siswa mendapat nilai 60 dan siswa itu adalah aku hanya karena aku menolah mencontek. Aku tidak menyesal atau marah karena saat itu aku tahu dan siap menanggung segala konsekuensi dari idealisme dan prinsipku ini. Namun yang menjadi masalah adalah ketika salah satu oknum pengajar malah memberi saran "harusnya saat itu kamu mencontek saja, nggak ada ruginya" jujur saja hal itu sempat merobek rasa cinta dan optimisme saya terhadap dunia pendidikan.
      Belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup, pendidikan membantu manusia menjadi manusia bukan hanya budak nilai, atau nantinya budak gaji atau kekuasaan. Pendidikan menjadi sarana agar manusia menjadi utuh dan luhur seperti martabatnya. Dan itu semua dapat terjadi dengan bantuan aturan-aturan yang pada hakikatnya membantu agar manusia tidak menjadi liar, tak beda dengan makhluk hidup dari kingdom animalia lainnya. Jadi marilah kita berusaha untuk tidak dipenjara aturan bukan dengan melanggarnya tapi dengan berusaha mendalami dan mengenalnya agar dapat menjalankannya dengan penuh kesadaran dan untuk penegakkan hak dan martabat luhur manusia.

Oleh: Stefanus Dominikus Christian Viming

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...