id="fb-root"> expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Translate

Laman

Kamis, 28 November 2024

WYD: Dana, Visa, Fobia

 

    WYD bukan sekadar "jalan-jalan ke luar negeri" tetapi sebuah peziarahan dan petualangan. Itu berarti perjalanannya, termasuk tantangannya sudah dirasakan sejak setiap orang mengatakan "iya" dan mendaftar. Kalau bisa aku rangkum, setidaknya tiga hal ini yang jadi tantangan besar bagi kami dalam persiapan menuju WYD: dana, visa, dan fobia!


Providentia Dei!

    Seperti yang sempat aku bahas di artikel-artikel sebelumnya, aku datang dari keluarga yang sederhana alias menengah. Salah satu standarnya, aku merasa satu juta itu mahal! (karena ada loh yang tidak merasa seperti ini) Tentu saja dulu ini jadi salah satu yang sempat menggalaukan pikiranku, bahkan menjadi salah satu alasan tidak terlalu menginginkan ikut WYD. Tapi ternyata Tuhan udah atur semua dan dengan cara yang agak laen mempersiapkan aku secara keuangan untuk ini. Cara agak laen itu adalah pandemi.

    Tanpa aku sadari, pandemi yang sempat membuat gairah hidupku hilang ternyata menjadi salah satu bentuk penyelenggaraan Allah yang mempersiapkan aku untuk bisa ikut WYD. Pertama, pandemi mengundur penyelenggaraan WYD. Ini berarti semakin banyak waktu untuk nabung! (Setelah aku merenungkan, seandainya WYD tetap dilaksanakan sesuai rencana tahun 2022 mungkin aku belum punya tabungan yang cukup untuk bisa ke sana). Kedua, berkat pandemi yang memaksa banyak kegiatan jadi online membuat dana yang biasanya harus dikeluarkan untuk beli bensin atau makan di luar untuk ketemu temen jadi jauh berkurang. Ini artinya bisa super hemat dan pengeluaran tidak sebesar di masa sebelum pandemi. Ketiga, di masa-masa ini aku mendapat beberapa project yang menghasilkan uang juga lewat beberapa orang Dia memberiku "angpao" yang mana sedikit demi sedikit aku kumpulkan. Justru karena semua ini bukan hal besar yang terjadi secara mendadak, tetapi hal-hal kecil yang terjadi berangsur-angsur, aku awalnya tidak menyadari bahwa ini semua jalan yang disiapkan Tuhan buat aku bisa ikut WYD.


Selamat tinggal buku!

    Sejak aku mulai mendaftar, aku membuat dua komitmen: menerima project kerja apapun yang ditawarkan kepadaku dan tidak beli buku sama sekali sampai WYD! Alasannya, catatan keuangan pribadiku menunjukkan pengeluaran beli bukuku cukup besar. Jangan terinspirasi dulu, meskipun memang aku hobby membaca, aku cenderung lebih suka membeli buku daripada membacanya (membaca buku itu pasti, tapi kapan hanya Tuhan yang tahu hehehe). Tak jarang aku membeli banyak buku dan tidak menyentuhnya sampai beberapa tahun baru kemudian membacanya, bahkan ada yang hingga saat ini belum aku baca. Kesimpulannya kalau aku mau ikut WYD aku harus menghemat besar-besaran dan yang paling logis diet gak beli buku!

    Puji Tuhan komitmen itu berhasil aku jalani dan hanya sekali aku "khilaf" hehehe. Hal ini menyelamatkan tabunganku dari pengeluaran yang tidak perlu dan memaksa otakku menemukan cara lain membaca buku tanpa membeli, misalnya dengan meminjam dari perpustakaan. 

    Kemudian, Puji Tuhan juga di masa-masa ini aku mendapat beberapa tawaran "kerja jangka pendek" yang bisa buat nambah-nambah uang jajan. Semuanya aku terima mulai dari nulis artikel untuk majalah fakultas, menjaga anak, jadi fasilitator retret, dan sebagainya.

    Selain ini semua, persiapan WYD juga membuatku lebih sering mantengin kurs karena pembayaran cicilan ditentukan berdasarkan nilai kurs Dollar Amerika Serikat (USD). Masih kerasa deh serunya menunda atau mempercepat pembayaran cicilan ketika melihat kurs lagi turun atau lagi naik.


"Visa Dolorosa"

    Seperti yang sudah banyak orang tahu, pemegang paspor Indonesia yang mau mengunjungi Eropa khususnya negara-negara Schengen harus melalui "Jalan Sengsara" pengurusan Visa. Selain ribetnya proses persiapan, banyaknya dokumen yang harus disiapkan, dan ancaman visa ditolak menjadi beberapa alasan proses ini banyak membuat orang malas. 

    Aku beruntung karena melakukan proses ini bersama 17 anak lain yang akan WYD bersama komunitas Emmanuel Indonesia jadi banyak tahap bisa dijalani bersama. Tapi, ini bukan berarti prosesnya jadi mudah karena drama dan hal-hal yang tidak direncanakan selalu ada dan siap memperribet suasana. 

    Dari aku pribadi, setidaknya ada dua drama yang harus aku hadapi dalam persiapan sebelum ke tempat aplikasi visa di Jakarta. Pertama, aku yang baru pertama akan ke Eropa tentu gak pernah kepikiran bahwa ternyata ada syarat tidak tertulis yang harus dipenuhi. Aku, yang awalnya santai melengkapi checklist dokumen, jadi gusar ketika beberapa teman mengatakan bahwa bukan hanya harus mengumpulkan rekening koran, tetapi isinya juga harus lebih dari 50 juta. "Mana ada?!", batinku "kan udah dibuat nyicil WYD" wkwkwk. Tentang ini aku berusaha menenangkan diri setelah riset baik di internet maupun dengan tanya orang lain yang berpengalaman bahwa syarat ini bisa "ditutupi" dengan surat undangan, apalagi ini kan acara keagamaan yang sudah dikenal. Kedua, sebagai mahasiswa aku harus mengurus surat dari universitas yang menyatakan aku mahasiswa di sana dan aku akan kembali ke Indonesia. Somehow aku tidak pernah bisa mendapatkan ini karena jadwal kelas yang padat, juga kegiatan lain yang tiba-tiba memperpadat jadwalku, disempurnakan dengan jam tutup kantor administrasi yang tidak mendukung. Dengan jantung berdebar aku harus puas dengan mengumpulkan fotokopi kartu mahasiswaku.

    Drama tidak berhenti di masa persiapan. Pada Hari-H janji temu pengurusan visa, jalanan Jakarta saat itu lebih padat dari biasanya. Meski kami sudah mempertimbangkan kemacetan Jakarta, ternyata hari itu kemacetannya dua kali lipat! Seakan jalanan macet belum cukup membuat jantung berdebar, salah satu teman kami melupakan satu dokumen penting yang membuat kami harus mengambil dokumennya. Sesampainya di tempat pengurusan visa pun, kami harus merevisi beberapa detail di formulir, intinya hari itu cukup melelahkan dan penuh drama. Puji Tuhan proses akhirnya selesai dan beberapa minggu kemudian paspor dengan visa di dalamnya sudah kami terima (sebenarnya ada juga beberapa teman, dengan "drama"nya sendiri menunggu visa hingga minggu terakhir, tapi biar ini untuk ditulis di blog mereka sendiri aja wkwkwk).


"aku takut naik pesawat!"

    Seperti kata pepatah "badai pasti berlalu lalang", sesudah permasalahan dana dan visa lewat, datanglah tantangan baru tapi kali ini berasal dari dalam. Suatu ketika, kami mengadakan acara kumpul bersama untuk semua yang akan WYD untuk saling mengenal dan sharing tentang persiapan, di sana masing-masing membagikan apa yang jadi kesulitan, ketakutan, atau apapun yang mengganjal. Ada yang takut beradaptasi, takut ketemu orang banyak, tidak terbiasa dengan suasana baru, takut gak diizinin cuti, peperangan rohani, dan aku takut naik pesawat! 

    Diantara ketakutan yang keren-keren, mungkin ketakutanku ketakutan yang paling ndeso dan membuat beberapa orang menahan tawa. Tapi yah itulah kenyataannya. Aku tidak masalah mbolang, ketemu orang baru, di suasana baru dan sebagainya, semua bukan masalah bagiku. Tapi, naik pesawat 2 kali 19 jam?!!! Boro-boro, waktu harus naik pesawat 1 setengah jam waktu pengurusan visa di Jakarta aja aku sudah minta ijin meremas tangan teman yang duduk di sebelahku ketika turbulensi, gak kebayang naik pesawat total 19 jam sekali jalan. 

    Untungnya, persiapan teknis maupun spiritual yang kami jalani sebelum keberangkatan sangat membantuku untuk mempersiapkan diri dan mengontrol diriku. Juga berkat bantuan teman-teman yang lain, kami bisa saling membantu dan menguatkan setiap orang dengan kekuatan dan 'fobia'-nya masing-masing. 


Sub Tutela Matris

    Tanggal 16 Juli 2023 tepat pada Pesta Maria Bunda Karmel, kami melakukan pertemuan terakhir sebelum keberangkatan sekaligus persiapan spiritual dan keakraban. Selain dikuatkan dengan ayat kitab suci "jangan takut" dan beberapa ayat lain yang sangat menguatkan, kami didoakan agar peziarahan ini sungguh berbuah bagi kami dan semua orang yang kami temui. Aku secara pribadi yang memiliki devosi pada Maria Bunda Karmel menitipkan diriku dalam perlindungannya "doain kami ya ma!" 

     Hari itu adalah hari terakhir aku dan teman-teman bertemu sebelum hari keberangkatan kami (24 Juli 2023). Sore harinya sesudah acara, di tengah keheningan, aku yang awalnya begitu takut dan ragu ini-itu jadi sangat bersemangat karena menemukan suatu hal yang sangat menarik. 

    Sambil memaknai tema WYD: "Maria bangkit, dan pergi dengan segera... (mengunjungi Elisabet dan membawa Yesus kepadanya dan bayi yang dikandungannya)" sebagai orang Surabaya, aku menemukan tema ini menyoroti sikap bunda Maria yang Surabaya poll! (Surabaya banget). Salah satu karakteristik orang Surabaya yang banyak dikenal adalah nekat, ndang sat-set. Aku rasa ini juga karakter yang akan ingin ditanamkan lewat WYD tahun ini.

    Sama seperti Bunda Maria, yang meski punya seribu alasan untuk ragu, banyak pikir, atau mungkin terpuruk (dia literally baru saja menerima kabar mengejutkan yang akan mengubah seluruh rencananya, dan lagi hamil!) dia memilih untuk dengan nekat dan gak banyak pikir dengan segera mengunjungi Elisabet yang sedang membutuhkan bantuannya. Berkat dari sikap nekat dan sat-set nya itu, Elisabeth dan bayi di kandungannya ikut mendengar, bahkan merasakan secara nyata kabar sukacita yang ada di rahim Maria: Yesus, Allah yang menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Dari peristiwa itu terlontarlah salam yang hingga saat ini kita renungkan "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu!" (Luk 1:42)


                    Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...