id="fb-root"> expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Translate

Laman

Senin, 09 Desember 2024

WYD: Perhentian

    Perhentian (transit) di Kuala Lumpur (dan kemudian di Dubai) bagi kami menjadi semacam "rekreasi" singkat sebelum memulai petualangan sesungguhnya. Meski begitu, masa-masa ini banyak membantu kami lebih mengenal satu sama lain dan mempersiapkan kami menjalani peziarahan bersama.

   
Kuala Lumpur
    Sebagai orang yang baru pertama kali ke luar negeri, Kuala Lumpur bagiku bener-bener mencengangkan. Aku masih mengingat betapa aku gak berhenti mengagumi tempat-tempat baru yang aku kunjungi di sana. 

    Kami melewati siang dengan makan bersama. Selanjutnya, sampai sore hari adalah waktu bebas untuk kami semua. Ada yang memilih berenang, jalan-jalan, dan aku pribadi memanfaatkan saat terakhir bisa menggunakan toilet berbidet untuk menyelesaikan 'urusanku'.

Fasad Gereja St Fransiskus Assisi, Cheras

menemukan pintu
dengan
sandal di depannya
    Karena penerbangan kami dari Surabaya pagi, kami tidak sempat mengikuti Misa harian, maka kami memutuskan untuk mengikuti misa harian sore di KL. Sepertinya hari Senin adalah hari libur bagi banyak paroki di sana, tak sedikit yang mencantumkan jadwal misa harian "kecuali hari senin" entah apa alasannya. Untungnya kami menemukan salah satu paroki yang menyediakan misa harian sore itu yaitu Gereja St Francis of Assisi, Cheras. 


    Sesampainya di gereja, kami dikejutkan suasana gereja yang sepi seperti
 tak berpenghuni. Parkiran kosong, tak ada orang yang terlihat, bahkan security pun tak ada. Awalnya kami berpikir apakah jadwalnya salah sebab waktu sudah kurang 15 menit sebelum jadwal misa yang tercantum di internet, tetapi suasana masih sangat sepi. Untungnya kami mencoba masuk ke dalam kompleks gereja dan akhirnya menemukan sebuah bangunan di sampingnya bertuliskan "Capella della Porziuncola". Setelah agak memutar, kami menemukan pintu kecil kapel yang ternyata di depannya ada banyak sandal dan sepatu. Setelah salah satu dari kami membukanya, kami lega menemukan kapel itu sebab ternyata di sana terdapat para umat sedang mempersiapkan diri untuk perayaan Ekaristi.

di dalam kapel

Altar Kapel dengan
relikui para kudus
berbincang dengan romo

    Kami pun mengikuti Misa dengan khidmat di kapel kecil tapi indah itu. Sesudah Misa kami mengobrol seru dengan seorang imam Fransiskan yang baru saja memimpin Misa. Meskipun tua, beliau sangat bersemangat dan memberi kami banyak wejangan untuk WYD dan memberi juga doa dan berkat bagi kami. Sesudah berbincang dan menerima berkat beliau, kami meminta izin untuk kembali ke kapel untuk puji-pujian dan berdoa. 

    Di altar kapel kecil itu terdapat relikui (peninggalan: potongan tubuh, pakaian, dan sebagainya dari para kudus) juga ada patung St Maria dari Fatima. Sejenak kami berdoa dan merenungkan betapa indahnya bisa berada di sana. 


Relikui St Fransiskus Assisi
 

    Sesudah menerima santapan rohani, saatnya tiba bagi kami untuk makan makanan jasmani. Kami  makan malam di sebuah rumah makan cina yang super enak. Uniknya mendengar logat madura keluar dari salah satu pelayan membuatku tergelitik untuk menyapanya dan itu jadi awal dialog singkat kami di mana kami bertukar kisah hidup. 

    Sesudah makan beberapa orang mengunjungi supermarket di sekitar situ untuk membeli beberapa perlengkapan yang sekiranya masih kurang dan juga oleh-oleh yang akan kami titipkan ke Ko Hanny dan Ce Siska agar tidak menambah beban kami saat WYD nanti (hehehe, terima kasih ko dan ce!).

    Tak terasa, waktu berjalan cepat dan sekitar pukul sebelas kami memulai perjalanan menuju bandara KLIA. Sesudah berpamitan dengan Ko Hanny dan Ce Siska, kami bersebelas 'geng Surabaya' yang akan ikut WYD menuju ke bandara. 

KKL: kenalan di KL

    Di bandara, kami bertemu dengan salah satu peserta rombongan dari Timor Leste bernama Marta. Entah mengapa, meski kami baru pertama kenal aku menyapa dan memeluknya seperti bertemu teman dekat yang sudah lama tak berjumpa. Malam itu suasana benar-benar riang dan penuh sukacita. Sesudah menyelesaikan proses check-in dan imigrasi, kami mencari suatu tempat di sekitar gate untuk duduk bersama dan saling bercengkrama. Di sana kami berkenalan dan merekatkan keakraban, sebab dengan mereka inilah kami akan menjalani peziarahan selama kurang lebih 17 hari itu.

    Akhirnya sekitar pukul 2 dini hari  saatnya tiba bagi kami untuk masuk pesawat. Belajar dari pengalaman penerbangan sebelumnya, beberapa teman dengan nada bercanda berkata kepadaku "Plis jangan seminar lagi ya, kita mau tidur." Aku juga sejujurnya sudah setengah sadar saat itu, gimana nggak, aku hanya tidur 1 jam dalam 24 jam terakhir!


Yesus di Pesawat

    Pesawat Emirates yang kami tumpangi ternyata sangat nyaman dan besar (lebih besar dari yang aku bayangkan). Meskipun demikian, penerbangan malam itu khususnya ketika kami berada di atas Teluk Bengal, cukup penuh goncangan seakan aku berada di dalam mesin cuci terbang. Tetapi sepertinya hanya aku saja yang terganggu dengan itu, karena aku melihat semua orang di sekitarku sudah tidur lelap. Aku pun berusaha mengingat peristiwa Yesus dan para murid-Nya yang diterjang badai. Alih-alih membangunkan Yesus dan berkata "Tuhan, kami binasa!" malam itu aku ingin membiarkan Yesus tidur nyenyak dan cukup dengan menyadari keberadaan-Nya bersama kami sudah mampu menenangkan aku.

    Tak terasa aku sudah tertidur sebentar dan ketika bangun kami sudah mendekati teluk Arab dan tak lama kemudian diumumkan bahwa kami akan segera mendarat. Memang tak banyak yang bisa dilihat di Dubai dari pesawat pagi itu selain lampu-lampu gedung dan pasir, tapi itu benar-benar sebuah pemandangan baru yang tak terlupakan bagiku. 


Avengers, Assemble!

    Di Dubai, kami bertemu dengan separuh rombongan kami yang berangkat dari Jakarta, maka lengkaplah squad WYD bersama Komunitas Emmanuel 2023. Agar di kisah-kisah berikutnya aku tidak perlu menggunakan "Si Mawar", "si dia", atau "si ojan", berikut ini anggota grup kami (semua nama panggilan dari sudut pandang aku sebagai penulis): Fr Varian (a.k.a. ketua grup dan penerjemah), Ce Helen dan Ko Frans (pengurus dan penujuk arah), Ce Jeanne (pembuat konten), SS (dokumentasi), Ko Sam, Rafael, Ce Nita (pembawa P3K), Ocen, Nicklaus, Marta, Ce Raissa, Jacqueline, Rachel, Ce Ina, Ko Steven, Ko Setiawan, dan Christian (aku, penerjemah dan pemandu sorak). Kami ber-18 masing-masing punya tugas dan peran dalam grup dan ini jadi awal perjumpaan dan bahkan persahabatan kami. 

    Sama seperti di Kuala Lumpur, sesudah beberapa menit waktu bebas untuk urusan masing-masing (makan, ke toilet, dan sebagainya) kami mencari satu pojok kosong di bandara Dubai untuk melakukan rapat RT (Rukun Teman) ceritanya biar kami rukun dan akrab selama WYD hehehe. Selain menjalin keakraban, kami juga membahas beberapa hal penting yang harus kami ketahui selama peziarahan, salah satunya pembagian grup kecil atau fraternal group ber-6 untuk sharing dan ketika dibutuhkan untuk berpisah.\

    Di bandara Dubai hari itu, suasana WYD sudah mulai terasa. Tidak jarang kami berpapasan dengan rombongan beratribut WYD dari berbagai negara. Sayang karena padatnya situasi saat itu aku tidak sempat mengambil beberapa foto atau menyapa mereka. 

    Asyiknya obrolan membuat waktu berjalan cepat. Gate pesawat kami pun dibuka dan kami mulai masuk pesawat. Kami akan memulai perjalanan menuju ke kota abadi: Roma!


Silenzio Bruno!

    Sesudah beberapa lama di udara, aku mulai menikmati naik pesawat. Aku menghabiskan 8 jam penerbangan itu dengan menonton film, makan, dan tidur. Uniknya, bahkan di tempat yang 'duniawi' itu sekalipun aku merasa Tuhan mau mengajar aku, salah satunya lewat film. 

    Aku menonton film berjudul Luca, aku masih ingat sempat melihat trailer-nya tapi nggak sempat nonton dan akhirnya di pesawatlah aku baru punya kesempatan itu. Ternyata ada satu scene (yang cukup terkenal di film ini) yang sangat menyentuh aku, scene "Silenzio Bruno!" (Diamlah Bruno!) *kalau penasaran kalian bisa cari kata kunci ini di Youtube, ada banyak kok. Scene sederhana itu seperti menggambarkan perjuangan internalku menjelang keberangkatan yang dibisingkan dengan suara si Bruno "kalo duitnya gak cukup gimana? Kalo gak bisa nerjemahin dengan baik gimana? Kalau pesawatnya ada apa-apa gimana?" ternyata yang perlu dilakukan hanya menegur si Bruno dan berkata "Diamlah Bruno!" dan GASSS bangkit dan pergi dengan segera!


Azab dan berkat anak congkak

    Ketika tiba saatnya makan siang, aku ada pengalaman yang agak memalukan. Melihat Nick di sampingku yang memesan wine alias anggur untuk minum, otak cinaku yang gak mau rugi juga meminta minuman yang sama ke mbak pramugarinya. "Masak, minum teh atau jus jeruk doang? Rugi dong" pikirku, lagi pula selama ini aku gak pernah ada masalah minum minuman beralkohol. 

    Sesudah menyelesaikan makanan dan minuman yang super enak, aku pun jatuh terlelap. Beberapa saat kemudian aku terbangun dalam keadaan super pusing dan mual. Tanpa pikir panjang, untuk menghindari bencana yang tidak diinginkan, aku segera berlari ke toilet di belakang pesawat. 

bukan sponsor :)

Untuk memperparah keadaan, toiletnya sedang penuh. Pramugari yang melihat kepanikanku menanyakan keadaanku dan memberiku kantung muntah. Sesudah mendapatkannya, aku mengeluarkan semua yang perlu dikeluarkan dan di situlah aku menyadari "aku tahu siapa penyebabnya, Si Anggur!" 

    Sesudah semua selesai, aku menjadi sehat seperti semula. Sambil menyadari betapa konyolnya aku, datanglah pramugari yang tadi menanyakan keadaanku dengan penuh perhatian. Sesudahnya ia memberiku salah satu minuman terenak yang pernah aku minum (tapi kali ini nggak ditolak perutku yang masih 'ndeso' hehehe). Aku anggap ini sebagai azab dan berkat Christian si anak congkak yang sok sokan minum anggur. (Dah habis gini teh manis aja deh).

    

Kota Abadi!


    Singkat cerita, peta digital di pesawat menunjukkan posisi kami mulai memasuki wilayah Italia. Tidak lama, pengumuman bahwa kami akan segera mendarat diumumkan. Proses pendaratan ditemani angin yang cukup kencang sehingga pesawat berguncang dengan agak keras. Anehnya, kali itu aku tidak takut. Mungkin perasaan tak sabar akan menginjakkan kaki di Kota Abadi mengalahkan ketakutan. Beberapa saat kemudian, kami berhasil mendarat dengan selamat di Bandar Udara Fiumicino, Roma.


            Bersambung 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...