"Duh, nek ngomong iku mbok yo sing verifikatif ngono loh"
(Bu Tedjo, bila menjadi anggota Lingkaran Wina)
Film TILIK, yang sempat gempar di jagat maya Indonesia merupakan karya produsen film asal Yogyakarta, Ravacana Films. Film pendek ini menceritakan tentang sekelompok ibu-ibu yang di tengah perjalanan "menilik" bu lurah yang sedang sakit di kota, menghabiskan perjalanan itu dengan bincang-bincang "panas" terkait seorang putri bernama Dian. Bincang-bincang yang dikenal dengan sebutan gossip itu ternyata menampilkan bagaimana proses seseorang membangun argumen dan mengkritisinya. Secara tidak langsung, film ini mengandung unsur-unsur yang dibahas dalam perdebatan filsafat analitik yang fokus utamanya adalah bagaimana menganalisa realitas yang digambarkan lewat bahasa. Oleh karena itu, mengapa tidak mengkaji film ini dari kaca mata para filsuf analitik?
Apa itu Filsafat Analtik?
Secara sederhana, filsafat analitik adalah suatu kajian yang berfokus pada analisis atas realita yang digambarkan dalam bahasa. Sesuai namanya, filsafat analitik berkutat di pertanyaan-pertanyaan terkait "bagaimana mengetahui suatu pernyataan benar?" atau "bagaimana meyakini bahwa suatu kebenaran itu benar-benar BENAR?", yang pada dasarnya terkait analisa atas realita.
Dalam filsafat analitik banyak tokoh memfokuskan kajiannya pada bahasa. Hal ini disebut juga linguistic turn atau palingan pada bahasa, mengapa bahasa? Sebab bahasa adalah cara manusia untuk mengekspresikan ide dan gagasan terkait realita, semua komunikasi dan perdebatan, termasuk perdebatan dalam filsafat, semua menggunakan bahasa, maka salah satu cara untuk menganalisa kebenaran realita adalah dengan menganalisis bahasa.
Dalam menganalisa realita yang tergambar dalam bahasa, banyak tokoh filsafat analitik mendasarkan kebenaran sebagai sesiatu yang dapat diverifikasi atau dibuktikan di realitas fisik. Maka, banyak tokoh analitik khususnya yang tergabung dalam Lingkaran Wina menolak metafisika sebab pernyataan-pernyataan metafisis tidak memiliki korespondensi dengan realitas fisik. Meski demikian, sikap para filsuf analitik terkait metafisika beragam. Ada yang dengan ekstrem menolak seperti Wittgenstein I yang mengatakan "yang bisa dikatakan harus dikatakan dengan jelas, yang tak bisa dikatakan harus ditinggalkan dalam diam." artinya pernyataan-pernyataan yang tidak ada kaitannya dengan realitas fisik harus ditinggalkan dalam diam (meskipun di karyanya yang berjudul Language Game pemikirannya sedikit diperbarui), ada pula yang dapat menerima beberapa konsep metafisis seperti logika dan matematika sebagai salah satu cara untuk memahami realita.
Salah satu pemikiran filsafat analitik, misalnya atomisme logis yang dicetuskan Bertrand Russel, menyatakan bahwa untuk dapat menentukan apakah suatu pernyataan benar atau tidak, kita perlu menganalisa setiap atom dalam kalimat. Sebut saja judul artikel ini, ("TILIK" dari Kacamata Filsafat Analitik) maka perlu dikaji apakah "TILIK" itu benar-benar ada? Apa arti TILIK di sini? Kemudian kata "dari", "kacamata", dan seterusnya. Begitu pula apakah atom-atom ini disusun menjadi suatu kalimat yang logis atau tidak, misalnya ketika kalimat ini diubah menjadi "Kacamata TILIK Filsafat dari Analitik" dapatkah disimpulkan bahwa kalimat ini benar?
Secara sederhana ini adalah fokus bahasan dalam filsafat analitik. Sekarang, saatnya melihat film TILIK dari kacamata filsafat analitik. (*filsafat analitik itu siapa? Apakah punya kacamata? Apakah benar seseorang bernama "filsafat analitik" memakai kacamata untuk menonton film TILIK? Hehehe).
Menilik TILIK dari Sudut Pandang Filsafat Analitik
Film yang menampilkan fenomena gossip yang sangat dekat di masyarakat ini menjadi satu objek kajian yang menarik di filsafat analitik. Bagaimana bahasa yang digunakan dalam gossip ini juga berisi argumen-argumen yang berdasarkan pada realita tetapi apakah tepat menyimpulkan fakta-fakta itu dengan satu kesimpulan ataukah perlu dilakukan verifikasi? Bahkan apakah perlu kita memverifikasi bila verifikasi sudah mengandaikan pernyataan kita benar dan hanya mencari pembenaran saja? Atau kita harus mengikuti jejak Karl Popper dengan melakukan Falsifikasi? Mari kita kritisi!
Mari kita awali dengan pemikiran seorang filsuf asal Inggris, Bertrand Russel. Gagasannya tentang atomisme logis menyatakan bahwa untuk menganalisa apakah suatu pernyataan bermakna atau tidak perlu mengkaji setiap atomnya. Misalnya, pernyataan "Dian jalan-jalan di mall bareng om-om" yang menjadi salah satu topik gossip Bu Tedjo. Di sini perlu dianalisa apakah Dian benar-benar ada? apakah si om-om benar-benar ada? Apakah mall tersebut benar-benar ada? Kemudian apakah Dian benar-benar jalan bersama om-om di dalam mall tersebut? Dengan demikian bila itu semua sesuai dengan realita pernyataan ini dapat dikatakan bermakna. Lantas bagaimana dengan anggapan Bu Tedjo bahwa Dian yang kepergok jalan-jalan dengan om-om ini berarti Dian adalah "simpanan" om-om dan dianggap tidak layak? Tentang ini, kita akan menggunakan gagasan Moore.
Moore berpendapat bahwa banyak hal dalam etika merupakan sesuatu yang diandaikan begitu saja, tanpa benar-benar dapat didefinisikan. Dalam kasus ini, pernyataan Bu Tedjo bahwa Dian yang kepergok jalan-jalan bareng om-om berarti Dian menjadi simpanannya dan ini adalah perbuatan yang tidak pantas merupakan penghakiman etis. Tetapi, bagaimana mendefinisikan kepantasan, apa yang pantas dan apa yang tidak? Bila mengikuti atomisme logis Russel kita perlu mendefinisikan setiap atom, termasuk pernyataan etis "Mosok pantes gitu itu? Sing haruse jadi bapake malah jadi gandengane" (masa pantas (tindakan) itu? Yang seharusnya menjadi ayahnya malah menjadi gandengannya). Tentang yang pantas dan tidak ini tidak dapat benar-benar didefinisikan secara logis tetapi diandaikan begitu saja. Misalnya dalam konteks ini seorang anak muda yang berpacaran dengan orang yang jauh lebih tua dianggap tidak pantas, orang menjadi "simpanan" dianggap tidak pantas, dan lain sebagainya. Lantas mengapa tidak pantas? Apa kriteria kepantasan? Sebagian besar akan menjawab yang pantas adalah yang sesuai dengan norma masyarakat, lantas apa yang sesuai dengan norma masyarakat? Hal ini sebagian besar akan diandaikan begitu saja.
Wittgenstein memberikan gagasan menarik tentang ini. Tentang pemikirannya dibagi menjadi dua periode yaitu periode pertama dan kedua. Di periode pertama Wittgenstein memberikan gagasan bahwa bahasa yang baik haruslah yang memiliki acuan dengan realitas empiris. Maka, segala sesuatu yang tidak memiliki acuan harus "dibiarkan dalam diam". Dengan demikian, bila Bu Tedjo dan ibu-ibu lainnya penganut fanatik ajaran Wittgenstein I, mereka tidak akan berbicara apapun kecuali fakta-fakta seperti "Dian jalan-jalan bareng om-om" dan "Dian keluar-masuk hotel". Sedangkan pernyataan-pernyataan opini dan metafisika seperti "Dian cantik" dan "Dian berbuat yang gak bener" harus dibiarkan dalam diam karena "kecantikan" dan "ketidak benaran" adalah metafisika yang tidak ada acuan langsung dalam realita, yang mungkin dapat dikatakan hanya ciri-ciri fisik "kecantikan" atau fakta-fakta empiris yang disempulkan "benar".
Dalam pemikirannya yang lebih lanjut dalam Language Game atau permainan bahasa, Wittgenstein tidak lagi menentukan apa bahasa yang baik dan bahasa yang tidak baik, sebaliknya bahasa dan makna setiap kalimat harus dipahami sesuai dengan permainan bahasa dan aturan yang digunakan oleh pemakainya. Permainan bahasa di sini lebih dari sekadar aturan gramatikal atau permainan sastra, tetapi perwujudan seluruh keberadaan manusia atau suatu masyarakat dalam bahasa. Dalam hal ini perlu dipahami permainan bahasa yang digunakan oleh Bu Tedjo dan ibu-ibu lainnya yaitu permainan bahasa ibu-ibu desa yang sedang bergossip. Maka, yang perlu dilakukan bukan "menghakimi" apakah pernyataan - pernyataan yang dilontarkan mereka benar atau tidak dari sudut pandang permainan bahasa lain, misalnya apakah benar secara saintifik atau apakah benar secara gramatikal bahasa Indonesia, melainkan harus dipahami sesuai dengan permainan bahasa ibu-ibu yang sedang gossip, yang mana ada satu objek yang menjadi topik gossip, ada yang memberikan fakta pendukung, pemanas suasana, ada pula yang menjadi pemberi sudut pandang lain yang skeptis dengan argumen mayoritas, dan sebagainya. Belum lagi dalam menyampaikan argumennya tidak diperlukan argumen pendukung yang saintifik atau data seperti dalam language game mahasiswa kuliah, tetapi argumen-argumen seperti : "Dian pasang susuk", "Dia muntah-muntah, kayaknya hamil", dan "Dian punya kerjaan sambilan karena dari keluarga miskin yang gaji gak seberapa kok bisa beli barang-barang mewah" dapat diterima.
Tokoh terakhir yang akan dibahas adalah Karl Popper. Berlawanan dengan pandangan para filsuf dari Lingkaran Wina seperti Russel dan Wittgenstein yang mencetuskan bahwa pernyataan yang benar atau bermakana adalah yang dapat diverfikasi atau yang memiliki acuannya dalam realitas fisik, ia berpendapat yang benar (dalam kasus Popper yang benar secara saintifik, pernyataan yang saintifik) adalah pernyataan yang dapat difalsifikasi. Artinya, pernyataan tersebut terbuka pada kemungkinan untuk dibuktikan kekeliruannya (berbeda dengan dogma yang tidak terbuka pada kritik). Dengan demikian sikap yang perlu dibangun bukanlah sikap verifikatif, mencari bukti yang mendukung pernyataan. Tetapi sebaliknya, sikap falsifikatif yang berarti mencari bukti kekeliruan pernyataan. Pernyataan yang falsifiabel dan ternyata dapat "tahan uji" alias belum dapat dibuktikan kekeliruannya, dapat dianggap benar.
Bila Bu Tedjo dan kawan-kawan meneladani sikap Popper, maka yang mereka lakukan bukannya mencari bukti kebenaran (pembenaran) dari pernyataan mereka, tetapi sebaliknya mencari bukti kekeliruan, dan selama pernyataan tersebut belum terbukti keliru, pernyataan itu dapat dianggap benar. Misalnya, pernyataan "Dian muntah-muntah, maka ia hamil" alih-alih mencari bukti kebenaran, yang mana dalam kasus ini bukti-buktinya akan selalu diada-adakan (muntahnya jenis muntah orang hamil, kehamilan muda masih bisa ditutupi, dan sebagainya), yang perlu dilakukan adalah mencari bukti Dian tidak hamil, dan selama belum dapat dibuktikan keliru, pernyataan ini dapat dianggap benar. Begitu pula dengan pernyataan "Dian menjadi simpanan orang" atau "Dian pakai susuk".
Di film ini justru nampak bahwa argumen gossip yang berusaha diverifikasi ternyata malah ke verifikasi yang tidak-tidak seperti "pakai susuk" dan sebagainya. Sebaliknya, argumen yang dilontarkan Bu Tedjo yang selalu disanggah Yu Ning bila difalsifikasi ternyata dalam arti tertentu tahan uji sebab terbuka pada kritik, dan ternyata belum dapat dibuktikan salah. Misalnya, pernyataan "Dian jadi simpanan orang (om-om)" dalam kasus ini dapat dibuktikan salah, tapi belum dibuktikan demikian (cukup temukan satu bukti Dian tidak menjadi pacar om-om, maka argumen itu terbukti salah). Dalam film ini justru nyata bahwa argumen Bu Tedjo yang nampaknya hanya andaian ternyata di akhir film "tahan uji" (silahkan menontonnya sendiri ^_^).
Kesimpulan
Film TILIK yang menampilkan secuplik fenomena dalam hidup masyarakat yaitu gossip dan dinamika hidup bertetangga ternyata mengandung nilai-nilai yang juga dibahas dalam filsafat analitik. Mulai dari sikap Yu Ning yang selalu meragukan argumen Bu Tedjo karena tidak ada bukti, para ibu-ibu yang memanaskan diskusi dengan bukti-bukti sebagai bentuk "verifikasi", hingga argumen Bu Tedjo yang ternyata tidak semuanya fiksi, karena ada yang tahan uji dari falsifikasi. Akhir kata, diskusi panas tentang sosok Dian dan perilakunya yang menggemparkan kampung mungkin menjadi salah satu bentuk language game yang khas di kalangan Bu Tedjo dan kawan-kawan yang memiliki aturannya sendiri serta menjadi bagian dari keberadaan mereka sebagai ibu-ibu yang hidup di masyarakat desa.
Sumber
Film TILIK: Ravacana Films, "Film Pendek - TILIK (2018)", https://youtu.be/GAyvgz8_zV8
Bertens, K., "Filsafat Barat Kontemporer Jilid I: Inggris & Jerman", Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar