(Sumber Gambar) |
"Artikel ini diunggah atas izin Sang Pencipta Semesta dan kebebasan penulis."
"Semesta tidak mendukung","semesta menangis","semesta tertawa" akhir-akhir ini kita sering kan membaca atau mendengar kata-kata ini? Entah awalnya dari mana, entah dengan maksud apa, yang jelas ini menggelitik rasa penasaranku akan "kuasa semesta" ini. Apakah "semesta" sungguh berkuasa mutlak akan nasib manusia? Apakah kebebasan manusia hanya ilusi? Aku akan membagikan sedikit pandanganku dengan tulisan ini.
Kata-kata ini membawaku pada refleksi akan kebebasan manusia. Apakah manusia bebas? Apakah manusia hanya boneka yang digerakkan "semesta", yang setiap geraknya diatur oleh nasib? Mengapa "semesta" alih-alih Dia yang menjadikan semesta alam?
Tentang kebebasan manusia, apakah kita bebas? Untuk ini aku perlu mendefinisikan kebebasan yang dimaksud. Bila kebebasan berarti bebas yang absolut bebas dari segala-galanya, maka tentu kita tidak bebas. Bukankah kita pun "terpenjara" dengan kebebasan itu? Bukankah kita tidak memilih untuk dilahirkan dan ada di dunia? Bukankah kita pun tidak bisa memilih untuk hidup selamanya juga tak bisa memastikan kapan dan bagaimana kita akan mati (bahkan usaha bunuh diri pun dapat digagalkan)? Ini adalah bukti bahwa kita tidak benar-benar bebas. Tapi apakah kita tidak bebas?
Aku melihat bahwa kebebasan manusia ada pada kemampuannya memilih, hingga memilih untuk melakukan sesuatu yang di luar insting alamiahnya. Sebut saja manusia mampu berpuasa meski secara alamiah memiliki rasa lapar dan tersedia makanan, manusia juga mampu memilih untuk bergadang menyelesaikan tugas alih-alih tertidur setiap kali rasa kantuk menjemput. PILIHAN inilah kata kunci kebebasan kita.
Mengapa kemampuan manusia memilih adalah bentuk kebebasan? Sebab banyak hal yang manusia tidak dapat atur kecuali pilihannya dalam bertindak. Manusia memang tak dapat menentukan apakah lima menit lagi ada gempa bumi atau tidak, tetapi ia mampu memilih untuk berlari ke luar rumah, atau sembunyi di bawah meja, atau tertidur dengan santainya.
Merefleksikan hal ini membuatku menyadari bahwa tindakan manusia bukanlah sekadar objek dari kuasa semesta atau nasib. Manusia dapat memilih untuk bertindak menanggapi situasi dan kondisi yang ia alami. Nyatanya di masa pandemi seperti ini ada manusia yang memilih memulai bisnis baru, atau ada yang memilih mempelajari hal-hal baru, dan ada juga yang memilih rebahan dan menghabiskan waktu. Jadi, tidak semua hal terjadi karena "kehendak semesta", kamu punya kuasa untuk memilih melakukan apa menanggapi keadaan.
Kebebasan inilah yang membuat tindakan manusia layak "dihakimi" apaka baik atau buruk. Tanpa kebebasan, tindakan manusia tak ada artinya, hanya sebatas program yang dijalankan. Bukankah kata sapaan dari sahabat kita lebih berharga daripada sapaan robot atau kecerdasan buatan? Sebab sahabat kita itu memilih melakukannya dengan kebebasan di tengah kemungkinan untuk cemberut, marah, atau bertengkar dengan kita sedangkan robot dan kecerdasan artifisial hanya menjalankan apa yang menjadi bagian dari programnya.
Hal lain yang aku rasa begitu berbahaya dari paham "kehendak semesta" yang diartikan secara literal ini adalah ketidak acuhan manusia pada Dia yang menjadikan semesta. Mengapa manusia, khsuusnya di zaman modern ini begitu anti sepertinya membahas Tuhan? Seakan keberadaanNya hanyalah dongeng manis pengantar tidur yang dikisahkan agama. Seakan percaya kepadaNya hanya salah satu pilihan mereka yang butuh ketenangan. Bukankah keberadaan Allah selogis dan senyata realita keberadaan semesta dan hidup kita? Bukankah keberadaan bumi, bulan, bintang, margasatwa dan tanaman, dan manusia yang dengan segala kerumitan serta keteraturannya meneriakkan fakta tak terbatahkan akan adanya Dia yang menjadikan semua? Lantas mengapa mempercayai energi abstrak kehendak semesta alih-alih Dia yang berkuasa atas semesta alam? Bukankah bodoh bila manusia percaya kepada kekuatan semesta tapi menganggap konyol keberadaan Penciptanya? Persis seperti orang yang mengagumi istana mewah tapi menolak keberadaan arsitek dan para pembangunnya.
Itu semua adalah refleksiku tentang trend "kehendak semesta" ini. Tentu, sebagai gaya bahasa dalam puisi hal itu samasekali tak ada masalah sebab di situlah letak keindahan karya sastra. Namun, sebagai paham yang diterima secara literal agaknya hal ini cukup bermasalah, khususnya terhadap bagaimana manusia memaknai kebebasan, hidup, dan keberadaannya serta keberadaan Dia, Sang Pencipta. Aku rasa demikian tulisanku ini, mari menjadi manusia, dan mari kita bebas!
Kepada Dia yang dengan bebas menjadikan kita bebas,
Aku haturkan segenap cinta dan pujian dengan kebebasanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar